Salah satu mitos dan asumsi yang kurang tepat saat lanjut kuliah ke luar negeri dengan beasiswa adalah bahwa kita punya kesempatan untuk menumpuk tabungan dan menanggung untung secara ekonomi. Asumsinya saat keluar negeri kita akan mendapatkan stipend yang cukup besar, lalu bisa menabung banyak dan jalan-jalan syantiiik eh santai. Lalu pulang ke tanah air dengan tabungan yang banyak.
Apakah asumsi ini benar? Berdasarkan pengalaman saya, asumsi ini harus didiskon dan dikoreksi besar-besaran. Kenapa? Karena seperti judul post ini, masa kuliah di luar negeri adalah masa menuntut ilmu, masa untuk bertapa mengasah pengetahuan dan skill secara akademik. Bukan untuk tujuan yang lain. Apalagi untuk bisa mendapatkan cuan dan tabungan yang berlimpah. Agak sulit ya.
Soal anda melihat banyak penerima beasiswa yang bisa pamer jalan-jalan kesana kemarin di instagram, hidup layak dan sebagainya, anda belum tahu saja ada banyak perjuangan di balik semua itu. Bisa jadi, ini hanya pengalaman saya, itu kebanyakan hanya pencitraan saja.
Ada beberapa asumsi yang harus difahami. Peratama, beasiswa antar negara adalah program multilateral dan program development. Seperti program development yang lain, ini adalah bagian dari program Hibah. Dan hibah itu adalah pemberian untuk membantu pengembangan kapasitas salah satunya dengan beasiswa. Jadi jangan berasumsi kita akan mendapatkan bantuan yang mewah-mewah karena tidak ditujukan untuk itu. Bantuan yang akan diterima akan secukupnya, untuk bisa memberikan kesempatan belajar dan hidup layak.
Kedua, tujuan utama beasiswa adalah pertukaran budaya dan perspektif. Misalnya untuk program Fulbright visa yang dipakai oleh awardee nya adalah Visa J1 untuk student exchange. Karena program beasiswa sejatinya untuk belajar dari pengalaman negara lain, menikmati kultur akademik dan budaya masyarakat yang ada di negara lain. Sehingga yang utama yang akan didapat adalah peningkatan kapasitas dari sisi akademik dan perspektif yang lebih luas. Dan materi bukan menjadi fokus utama.
Bahwa semua pengalaman dan kemampuan yang didapat akan membantu meningkatkan peluang mendapatkan posisi dan pekerjaan yang lebih baik adalah hal lain. Sebagaimana juga yang akan didapatkan oleh siapapun yang mendapatkan pengetahuan dari studi lanjut.
Ketiga, uang yang diberikan memang sedikit diatas biaya hidup layak yang dipakai untuk mengukur living cost di masing-masing negara. Misalnya kalo kita cek di Amerika Serikat ada yang namanya Poverty Treshold atau garis kemiskinan yang pada tahun 2020 jumlahnya adalah US$12,760, atau sekitar $35 per hari untuk single dibawah usia 65 tahun. Bagi keluarga, garisnya lebih tinggi yaitu US$26,200, atau sekitar $72 per hari. Di tahun 2020, hampir 13.1% penduduk Amerika hidup di garis ini.
Nah, angka ini sebetulnya tidak jauh dengan angka yang diterima para pelajar yang mendapatkan beasiswa baik itu beasiswa dari kampus, beasiswa dari negara ataupun beasiswa yang lain. Sehingga memang dengan standar di negara tersebut, uang beasiswa akan menempatkan kita pada kelompok-kelompok yang rentan seperti itu. Ini juga mengapa para penerima beasiswa dan keluarga yang turut serta juga eligible untuk menerima program-program jaring pengaman sosial seperti food stamp program WIC, atau juga program Child Nutrition Program di AS. Jadi ada plusnya juga.
Ketiga, kadang kita terjebak pada pengkonversian yang tidak pas, sehingga menganggap sejumlah uang di negara lain akan bisa digunakan dan bernilai sama dengan uang di negara kita. Misalnya begini, dapat uang US$1200 di Amerika nilainya sama dengan Rp 18.000.000 kalo di Indonesia. Sehingga seakan-akan itu sudah cukup besar. Padahal ada konsep Purchasing Power Parity, bahwa nilai uang di suatu negara berbeda nilai belinya dengan di negara lain. Contoh, US$ 1200 di US itu akan habis 65% untuk sewa kamar yang per bulannya berkisar antara US$ 400-600, sisanya untuk makan US$250, Paket data US$150 dan lain $200 misalnya. Kalo untuk ukuran Jakarta nilainya kurang lebih sama dengan uang Rp. 8 juta misalnya.
Jadi besaran uang itu tidak bisa dinilai sama di satu negara karena purchasing powernya berbeda tergantung kepada relatifitas harga barang dan jasa yang juga berbeda antara negara yang juga dipengaruhi inflasi, besaran upah dan faktor-faktor yang lainnya. Melihat jumlah uang yang sama tanpa mempertimbangkan purchasing power ini juga yang kadang menjebak kita untuk tidak siap atau terkaget-kaget menggunakan uang dengan bijak.
Lalu apakah dengan besaran uang beasiswa seperti ini akan mencukupi kebutuhan kita? Itu semua tergantung kepada gaya hidup dan keprigelan kita dalam menghadapi dan menyiasati hidup di perantauan. Makanya tidak heran jika yang membawa keluarga juga mencari penghasilan tambahan dengan bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kerjanya bisa apapun, dari jadi asisten lab, asisten riset profesor atau pekerjaan informal misalnya menjadi cleaning service, cashier, pelayan restoran atau pelayan toko. Bahkan bisa juga jadi asisten tukang bangunan. Dulu ada juga yang jadi loper koran sebelum internet sebelum zaman internet.
Ada adagium yang menarik, bahwa dengan gaya hidup yang tinggi, uang sebesar apapun tidak akan pernah cukup. Sebaliknya sekecil apapun uang yang dikelola, selalu ada ruang untuk menabung dan berhemat jika kita mau melakukannya. So, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencukup-cukupkan uang stipend yang ada di negeri orang. Namun tentu jangan berharap terlalu banyak bisa menyimpan uang dalam jumlah banyak dan pulang jadi jutawan. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengelola modal belajar ini dengan sebaik-baiknya agar kita bisa menjalani studi dalam keadaan layak, bukan mewah ya, dan pulang membawa ilmu dan pengalaman yang akan sangat berarti.
Jangan lupa, belajar itu dimana-mana ya masa perjuangan, pun saat kita mendapatkan bantuan dari beasiswa baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bersiaplah!!!
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung