Hingga hari ini pemerintah belum memutuskan kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2021. Peraturan menteri keuangan (PMK) soal tariff cukai yang biasanya terbit awal bulan Oktober, hingga saat ini masih belum juga keluar.
Presiden dan jajarannya sudah melakukan rapat terbatas minggu lalu, dan beberapa waktu yang lalau kementerian keuangan menyatakan cukai rokok tahun depan akan naik, namun berapa persen kenaikannaya hingga sekarang masih menjadi misteri.
Di publik beredar kabar yang simpang siur, ada yang info bahwa cukai akan naik 13-20% dan 17-19%. Sementara kepastian tarif cukai rokok sangat penting bagi banyak stakeholder guna kepastian usaha dan persiapan adaptasi dan evaluasi kebijakan di masa yang akan datang. Sehingga pengumuman tariff ini sangat ditunggu-tunggu baik oleh rokok maupun komunitas kesehatan masyarakat.
Tarik menarik Kepentingan
Lambatnya keputusan tariff cukai menunjukkan pemerintah belum satu suara. Setiap tahun diskusi cukai rokok selalu berjalan alot karena tarik menarik kepentingan. Industri rokok selalu menentang ide kenaikan tarif cukai, karena harga rokok yang tinggi akan keberlangsungan industry dan profitabilitas perusahaan. Rokok mahal akan menurunkan konsumsi dan menekan kinerja perusahaan. Industri juga mengklaim kenaikan cukai akan meningkatkan peredaran rokok illegal yang dapat merugikan pendapatan negara. Tahun ini, alasan industri bertambah dengan adanya pandemi COVID-19 yang sudah cukup memberatkan.
Dari sudut pandang kesehatan, tingginya konsumsi dan prevalensi perokok merugikan negara karena biaya kesehatan, kematian dan turunnya produktifitas. Merokok adalah faktor risiko utama penyakit tidak menular yang menyebabkan lebih dari setengah kematian di Indonesia. Dalam kesehatan rokok berkontribusi besar terhadap tingginya angka penyakit jantung, kanker, infeksi saluran pernapasan akut dan banyak penyakit berat lainnya. Tidak hanya itu, rokok juga berkontribusi terhadap 20% kasus TB dan meningkatkan risiko mengalami kasus COVID-19 berat.
Rokok juga menyebabkan kerugian bersih bagi ekonmi negara. Penelitian Balitbang kemenkes RI tahun 2015 mengungkapkan kerugian akibat rokok bisa mencapai 597 triliun setara dengan 4 kali lipat penerimaan cukai rokok di tahun yang sama. Berdasarkan data yang sama diupdate dengan inflasi dan pendekatan negative multiflier effect, tahun ini CHED ITB Ahmad Dahlan menghitung dampak negatifnya merugikan negara hingga 794 triliun.
Sehingga dari sudut pandang terakhir, mengendalikan konsumsi rokok dnegan menaikkan cukai rokok adalah pilihan yang sangat tepat. Karena selain menyelamatkan nyawa masyarakat dari berbagai risiko penyakit dan kematian, cukai juga perlu terus naik untuk menutupi eksternalitas negatif dari konsumsi rokok terhadap ekonomi.
Rokok dan Agenda Negara
RPJMN 2020-2024 menegaskan bahwa prioritas Presiden Jokowi adalah pengendalian konsumsi yang tercermin dari target menurunkan prevalensi perokok muda usia 10-18 tahun menjadi 8.7% di tahun 2024. Pemerintah melihat merokok sebagai salah satu beban yang bisa mengganggu berbagai program pembangunan termasuk diantaranya mengganggu pemenuhan layanan kesehatan semesta.
Jurus negara dalam menekan jumlah perokok adalah dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan non-fiskal seperti penerapan kawasan tanpa rokok, pembatasan iklan, edukasi masyarakat dan penyediaan layanan berhenti merokok. Kedua adalah pendekatan fiskal yaitu dengan menaikkan tariff cukai / harga rokok secara berkala dan menyederhanakan sistem cukai. Ini sesuai dengan undang-undang cukai yang memberi mandat cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi produk yang membahayakan masyarakat.
Tekanan untuk menaikkan tariff cukai tahun ini pun bertambah di tengah pelambatan ekonomi di tengah pandemi COVID-19. Tahun depan pemerintah mengantisipasi penurunan pendapatan negara dan deficit anggaran hingga 1000 triliun. Dalam kondisi sulit, menggenjot penerimaan dari produk inelastis seperti rokok memiliki relevansi di masa resesi seperti saat ini. Apalagi proyeksi penerimaan negara dari cukai juga masih cukup tinggi di angka 180 triliun yang sebagian besar akan dipenuhi dari cukai rokok.
Kenaikan Cukai Yang Efektif
Kenaikan cukai rokok akan efektif menurunkan konsumsi jika melebihi asumsi inflasi dan kenaikan daya beli masyarakat. Selama ini, pemerintah menaikkan rokok rata-rata 10% setiap tahunnya. Kenaikan tariff cukai 23% di tahun 2020 adalah pengecualian, karena pemerintah tidak menaikkan tarif pada tahun 2019.
Namun kebijakan yang ada selama ini belum efektif, buktinya adalah kegagalan negara mengerem jumlah perokok muda usia 10-18 tahun yang naik dari 7,2% tahun 2013 menjadi 9,1% tahun 2019. Dari segi kesehatan, cukai yang tidak naik pada tahun 2019 juga sangat merugikan karena berakibat meroketnya produksi rokok dari 332 miliar batang tahun 2018 menjadi 356 miliar batang tahun 2019.
Agar efektif WHO menyarankan Indonesia menaikkan cukai rokok sebesar 25% setiap tahun agar prevalensi perokok berkurang. Bappenas juga menghitung kenaikan tariff cukai rokok 25% akan menyelamatkan 340 ribu orang dari kematian dini, dan menyelamatkan 200 ribu anak dari menjadi perokok baru. Kenaikan ini juga berkontribusi meningkatkan PDB negara dan meningkatkan pendapatan negara dari cukai hingga 226 triliun rupiah.
Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan isu peredaran rokok illegal karena harga rokok Indonesia yang masih relatif murah tidak memberi insentif membeli rokok illegal. Apalagi rokok illegal adalah isu hukum yang bisa selesai dengan penegakkan aturan yang tegas. Apresiasi yang sangat tinggi bagi Dirjen Bea Cukai yang sudah berhasil menekan peredaran rokok illegal di Indonesia pada kisaran 5% di bawah rata-rata negara lain yang berada pada level 10-12%.
Maka dengan berbagai pertimbangan ini, pemerintah seharusnya tidak ragu lagi untuk menaikkan tariff cukai rokok 2021. Menaikkan tariff cukai rokok 25% setiap tahun adalah pilihan yang tepat, sehingga intervensi ini bisa efektif mengendalikan konsumsi dan mengurangi prevalensi perokok muda sebagaimana dicita-citakan Kabinet Presiden Jokowi.
Deni Wahyudi Kurniawan, SSI, MA, Alumni Master of International Development Studies, Ohio University, Peneliti Pusat Kajian Kesehatan (Puskakes) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Anggota Divisi Kesehatan Masyarakat Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PP Muhammadiyah
dimuat di SuaraMuhammadiyah.id
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung