"Kamu jangan main sama si A, dia nakal!"
"Kamu memang anak yang susah diatur!"
"Bodoh, Gitu aja nggak bisa!"
"Kamu jangan mimpi macem-macem, kita orang susah!"
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar, bahkan bisa jadi sebagai orang tua, tanpa sadar juga ikut melakukan, pelabelan kepada anak. Misalnya dengan memberi cap dan julukan tertentu. Seperti si-anu anak pintar dan si-puan adalah anak bodoh dan cap lain. Praktek seperti ini lebih marak lagi ditemukan pada pola asuh orang tua, dulu sih sering saya temukan, juga zaman sekarang.
Praktek seperti itu, yatu memberikan cap kepada seseorang adalah perilaku hal yang biasa, seorang anak mendapatkan penilaian tertentu yang fixed, pasti. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar istilah stereotype tertentu kepada etnis atau kelompok masyarakat yang berbeda, yang polanya ada kemiripan.
Praktek seperti itu mengimajinasikan bahwa kualitas seseorang itu given dan cap yang disemaikan sudah pasti akurat. Hal seperti ini sangat berbahaya terutama jika terjadi dan dialami oleh orang anak-anak dimana dia berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Karena pada prakteknya lingkungan adalah faktor utama yang akan membentuk watak dan perilaku anak.
Saat kecil, orang tua adalah lingkungan utamanya. Apapun yang kita tunjukkan, dan sampaikan kepada anak adalah informasi dan citra pertama yang akan ia dapatkan dalam hidupnya dan tentang dirinya. Apapun kata-kata, contoh apalagi sumpah serapah yang kita sampaikan kepada anak akan sangat bertuah. Semakin muda si anak akan semakin manjur dan menancap pesan dan kata yang kita sampaikan.
Bisa dibayangkan jika seorang anak tumbuh dan berkembang dalam dengan semua kata-kata kotor dan cap negatif yang disematkan pada dirinya. Berat dan sangat berat sekali rasanya. Karena cap dan label itulah yang akan menjadi identitas diri dan membentuk dirinya di masa yang akan datang.
Sebut dan labelilah anak kita dengan hal yang baik agar ia dapat tumbuh menjadi pribadi terbaik yang ia mampu. Jangan biarkan perasaan negatif, jelek dan tidak cukup menguasai dirinya. Karena banyak bakat dan potensi dirinya yang akan tertahan dan luput berkembang.
Saya jadi ingat di salah satu kelas soal pendidikan kritis, profesor saya meminta kami membaca bagian soal harapan guru yang berpengaruh terhadap cara dia mengajar dan memperlakukan muridnya. Kurang lebih ada satu kalimat seperti in "Labelling theory is related to teachers expectations and the concept of self-fulfilling prophecy". Bahwa saat seorang guru memberikan label dan julukan tertentu kepada muridnya sebetulnya itu adalah bagian dari harapan sang guru yang berpengaruh terhadap anak dan ada kaitannya dengan teori self-fulfilling prophecy.
Nah teori ini banyak dibahas dalam psikologi dan kurang lebih adalah bahwa harapan dan pengetahuan yang ada di dalam benak kita akan mewujudan memiliki konsekuensi. Seperti disampaikan oleh Willima Isaac Thomas atau yang lebih dikenal dengan Teorema Thomas bahwa “If men define situations as real, they are real in their consequences”.
Label apapun yang disebutkan guru, orang tua, teman kepada terutama anak-anak saya kira lebih dekat dan lebih kuat pengaruhnya daripada kepada orang dewasa. Dalam kajian agama teori ini juga ada kaitannya misalnya soal prasangka, keimanan, kepercayaan dan yang lainnya.
Maka sebagai orang tua selayaknya kita berhati-hati untuk melabeli anak dengan kata-kata kotor dan jelek, apalagi sampai membullynya. Karena meskipun kita tidak benar-benar bermaksud jelek, anak bisa percaya apa yang didengar dan label buruk yang disematkan akan menjadi kenyataan.
Bisa jadi, anak kita sebetulnya pintar, tapi karena terlalu sering disebut bodoh, ia jadi percaya, lalu tumbuhlah ia menjadi anak yang lupa menjadi pintar. Bahhhaaaaayaaa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung