Sebagaimana kita ketahui bahwa syarat menikah itu adalah sudah baligh dan memiliki kemampuan. Sedangkan rukun pernikahan adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan), wali yaitu orang tua perempuan laki-laki atau yang mewakilinya (wali hakim), saksi, akad nikah (ijab qabul) dan mahar. Rukun dan syarat ini relatif mudah untuk dipenuhi, namun diluar rukun dan syarat nikah, dalam budaya kita seringkali ada permintaan diluar itu yang memberatkan. Diantara permintaan itu adalah soal resepsi dan permintaan mahar yang macam-macam.
Dalam banyak budaya resepsi pernikahan dianggap salah satu hal yang penting. Namun karena bukan syarat, tidak ada contoh khusus bagaimana melaksanakan resepsi pernikahan, sehingga tata caranya berbeda-beda sesuai kebiasaan setempat yang berlaku.
Pada prakteknya resepsi pernikahan seringkali dibahas lebih serius, lebih heboh dan lebih menguras energi. Dengan dalih pernikahan sebagai sesuatu yang sakral maka perlu dirayakan dengan istimewa dan meriah. Di banyak tempat resepsi pernikahan menjadi sesuatu yang mahal, bisa menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Kebiasaan untuk membuat resepsi yang meriah membuat banyak pasangan kesulitan untuk menyegerakan menikah. Perlu persiapan yang lama untuk mengumpulkan dana agar bisa melaksanakan pesta pernikahan yang wah. Banyak calon mempelai atau keluarganya harus menghabiskan tabungan, aset keluarga, atau meminjam kanan kiri untuk membiayai resepsi.
Namun apakah cara mengabarkan pernikahan ini mesti dengan menggelar pesta besar-besaran? Di zaman internet seperti sekarang ini, penyebaran informasi bisa terjadi dengan sangat cepat. Untuk mengabarkan suatu peristiwa bisa dilakukan dengan satu kali posting atau mengirimkan email secara berantai.
Saya sering menemukan motivasi lain diluar esensi pernikahan itu sendiri. Misalnya karena takut dicurigai macam-macam kalau diadakan dengan sangat sederhana. Katanya pernikahan tanpa resepsi bisa dicurigai married by accident (MBA). Pernikahan tanpa pesta itu pernikahan duda dan janda! Alamak. Motivasi lain adalah untuk pamer kemampuan keuangan keluarga, sehingga perkawinan yang mewah adalah prestise yang bisa dibanggakan.
Secara pribadi saya tidak keberatan dengan pesta pernikahan sepanjang sesuai dengan kemampuan keluarga masing-masing. Yang menjadi masalah adalah saat pesta dipaksakan tanpa melihat kemampuan keuangan keluarga. Sehingga sehabis pesta, utang menumpuk dimana-mana, aset raib dan yang tertinggal hanya foto pernikahan di sudut ruangan. Ada juga keluarga yang membebankan biaya pernikahan pada mempelai yang baru. Sehingga pasangan baru harus memulai keluarga dengan mencicil pokok dan bunga pinjaman pesta pernikahan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk tidak memaksakan pesta pernikahan yang mewah adalah sensitifitas kepada lingkungan sekitar. Bukankah akan lebih bermanfaat jika uang bisa digunakan untuk memberi bekal pasangan baru atau membantu mustadh’afin?
Disamping cara melakukan resepsi, hal lain yang mempersulit pasangan untuk menikah adalah permintaan mahar yang terlalu tinggi. Padahal dalam ajaran dan sejarah islam tidak ada anjuran untuk mempersulit pernikahan dengan mahar yang memberatkan.
"Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya." (HR. Ashhabus Sunan)
Malah dalam beragama dianjurkan untuk mempermudah.
Yassiru wala tu-'assiruu wayubasy-syiru wala tunaffiru (HR Bukhari-Muslim). Senangkanlah (permudahkanlah) dan jangan susahkan dan berilah khabar gembira dan jangan berikan khabar buruk (buatkan orang lari daripadamu).
Permintaan mahar yang berat bisa dilatarbelakangi banyak hal. Di suatu daerah besar atau kecilnya persembahan bagi calon mempelai akan sangat bergantung dari kualitas personal dan latar belakang keluarga dari mana ia berasal. Lulusan S3 tentu akan dihargai lebih ‘mahal’ dibanding lulusan S2 dan S1 dan seterusnya. Namun ada juga kasus persyaratan yang berat diajukan sebagai cara untuk menolak secara halus. Targetnya tentu agar yang bersangkutan berpikir ulang dan mengurungkan niatnya. Kalaupun pada akhirnya permintaan bisa dipenuhi maka harus melalui upaya dan usaha yang maha dahsyat. Dalihnya sebagai ujian kesungguhan cinta kepada calon pasangan hidupnya.
Untuk kasus yang kedua, saya jadi ingat kisah Gunung Tangkuban Parahu dan Roro Jonggrang. Dalam dua kisah tersebut diceritakan bahwa Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang memberikan syarat yang berat dan mustahil dipenuhi sebagai bentuk penolakan dari lamaran yang diajukan kepada mereka. Dayang Sumbi meminta dibikinkan bendungan yang menutupi gunung dan perahu dari kayu dalam satu malam. Sementara Roro Jonggrang mensyaratkan pembuatan sumur dan 1000 candi dalam satu malam. Inti dari syarat pernikahan yang berat dalam dua kisah itu sebetulnya penolakan secara tidak langsung.
Sunnah Yang Sederhana
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, namun tidak perlu dipersulit dan dibuat mewah. Jika kita berkaca pada apa yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW ketika beliau menikah dan saat beliau menikahkan putrinya, pernikahan itu mudah dan tidak mahal.Misalnya soal mahar, dalam hadits banyak dibahas besar dan harga dari mahar yang harus diberikan kepada perempuan. Satu pendapat mengatakan tidak ada batasan minimal, selama mahar itu diberikan dalam bentuk fisik maka sudah sah berapa pun harganya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa mahar minimal harus seharga 400 dirham. Adapun apa yang dicontohkan Rasululah ia memberikan mahar sebesar 500 dirham kepada istri-istrinya sebagaimana hadits dari Aisyah.
Munculnya angka 400 dirham bisa jadi ada kaitannya dengan kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah Azzahra. Saat Ali melamar ia menyatakan bahwa ia tidak memiliki harta yang berlimpah, namun ia memiliki seekor unta, baju besi dan sebilah pedang. Saat itu Rasulullah menjawab bahwa pedang dan unta akan dibutuhkan untuk berjuang di jalan Allah. Sehingga Rasul menerima lamaran Ali untuk Fathimah dengan mahar Baju Zirah senilai 400 dirham.
Ini sepatutnya yang dijadikan sebagai teladan. Rasulullah tidak memberikan tuntutan yang diluar kemampuan Ali. Permintaan disesuaikan dengan apa yang dimiliki dan kemampuan si calon mempelai. Rasul tidak menggelar pesta pernikahan yang luar biasa, padahal posisi beliau adalah seorang pemimpin umat tertinggi pada saat itu. Tapi ia mencukupkan dengan cara yang sederhana dan mahar yang tidak memberatkan.
Pada intinya pelaksanaan pernikahan bisa dilaksanakan dengan sederhana dan tidak menyusahkan.
*Tulisan ini saya ambil dari refleksi 5 tahun pernikahan saya dan istri. Secara lengkap kami tulis di buku Warna-Warni Pelangi.
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung