Beredar video beberapa polisi dengan senjata lengkap memeriksa santri yang membawa tas dan ransel pulang dari pondok. Reaksi netizen beragam, sebagian besar menganggap para polisi itu lebay karena terlalu paranoid dengan tampilan santri yang sebetulnya standar-standar saja. Saya sepakat dengan kesan itu.
Namun disisi lain kita juga harus faham psikologi para polisi yang berjaga di lapangan. Berbagai macam tragedi yang terjadi dalam jangka waktu kurang dari seminggu membuat polisi sebetulnya dalam keadaan terjepit. Bukan hanya kebakaran jenggot, kasarnya bulu ketek dan bulu hidung polisi sekarang juga lagi kebakaran karena berbagai peristiwa ini.
Ada yang menuduh konspirasi, mencap polisi nyari anggaran, sampe dianggap intelijen kecolongan, tidak bekerja dan nggak profesional dan tuduhan-tuduhan lainnya. Yang kadang tidak berdasar atau tidak kuat argumennya.
Sementara mereka yang bertugas di lapangan, seperti polisi dalam video yg saya maksud diatas banyak diantaranya polisi muda yang bisa jadi saat ini mereka sedang bertaruh nyawa menjalankan tugas, literally. Kita tahu polanya sejauh ini polisi jadi salah satu sasaran utama serangan2 teror belakangan. Setiap saat polisi di lapangan bisa jadi target serangan. Sementara mereka juga dituntut tetap profesional menjalankan tugas menjaga keamanan.
Polisi mengalami situasi dilematis. Suasana siaga satu pasti akan membuat mereka memperketat SOP dan penjagaan. Dan itu artinya bisa mengundang perbedaan dari prosedur biasa yang bisa jadi kita persepsi sebagai hal-hal lebay seperti diatas.
Memperketat penjagaan disebut lebay, tidak memperketat juga khawatir kecolongan lagi. Mereka pasti ngomong ”trus aku kudu piye?”. Kalo urang sunda bilang, mereka ini "nincak semplak, nete semplek", atau "maju kena mundur kena". Apapaun yang dilakukan pasti ada peluang dinyinyirin dan dikritisi.
Saya tidak bermaksud membenarkan tapi memberi perspektif bahwa jika ada hal yang kurang pas seperti itu perlu kita fahami konteksnya. Gaswat darurat brur... Juga karena banyak kritik juga pada penanganan kasus teroris di masa lalu yang mendorong semacam ketidakpercayaan dan keraguan pada itu. Polisi sebagai profesi dalam keadaan genting, jadi sorotan masyarakat dari kiri, kanan, atas, bawah.
Harus diakui, pada akhirnya teror mau tidak mau memang menyeruak kemana-mana. Nyaris timline medsos dan perbincangan di group bahas soal ini. Menjelang puasa biasanya awal ramadhan yang rame, diskusi soal hisab atau rukyatul hilal. Sekarang nggak, tapi bahas ini.
Setelah semua tragedi dan kebiadaban seminggu ini, semuanya dirugikan. Pertandingan bola di surabaya diundur, ekonomi saya yakin terimbas parah, setidaknya di surabaya, rasa cemas menguat, rasa aman mahal, berita dan broadcast bodong berseliweran, hingga syak wa sangka bagi mereka yang dianggap mencurigakan sekarang mendapat semua pembenaran.
Kita jadi hidup dalam rasa takut meski tagar #wani #kamitidaktakut #beranirame dimana-mana. Tapi pikiran liar dan perasaan negatif thinking itu laksana hoaks yang menyebar lebih kilat dan cepat daripada berita baik dan penguatan lainnya.
Perlu upaya jangka panjang menghapus dan melawan teror. Dan perlu kita basmi dari akal masalahnya. Pertama tentu kita perlu mengambil sikap tegas untuk tidak mentolerir apapun alasan dari terorisme ini. Membunuh apapun alasan dan caranya tidak ada yang bisa dibenarkan. Mau faham radikal atau settingan agenda politik sama bahayanya, tidak ada perbedaan. Karena yang rugi kita semua. Terutama masyarakat di bawah.
Lawan teror sejak dari pikiran. Jangan sampe, serangan kayak gini jadi rutin setiap menjelang sidang itsbat dan ramadhan. Semoga tidak.
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung