Kata
pribumi lagi ramai dibicarakan di Indonesia, maksudnya di Jakarta.
Gara-garanya pa Anies Baswedan menggunakan kata itu dalam sambutan paska pelantikannya. Semua heboh, ada yang dukung, banyak juga yang bully.
Dan seperti biasa, setelah itu sosial media kembali lebih menggelora.
Meme dan joke satir berhamburan yang dukung maupun yang nelikung.
Nah
adakah dua gambar ini kaitannya dengan pa Anies? Tidak. Sama pribumi?
Juga tidak. Namun bisa kita bahas yang relevan dengan kata terakhir.
Dua
foto ini adalah suasana kelas Seminar Internasional Development Studies
(IDS) yang saya wajib ikuti semester ini. Kelas ini adalah mata kuliah
dasar yang harus diambil oleh setiap mahasiswa S2 IDS. Di kelas ini kami
belajar grand theori ilmu sosial terutama difokuskan dengan teori-teori
terkat pembangunan. Pengampunya Dr. Thomas Smucker, ahli geografi
lingkungan dan juga peneliti serta pengajar departemen geografi OU.
Dalam kelas ini beliau menggunakam buku Peet & Hartwick 'Theories of Development'.
Kebetulan
tema yang dibahas pada minggu ini adalah Pos Strukturalisme, Pos
Kolonialisme dan Pos Developmentisme. Tiga teori ini saling berkelindan
karena yang dua terakhir adalah penjabaran dari teori pertama dalam
prakteknya. Supaya lebih mudah saya kasih pointer saja ya.
Sebagai sebuah kritik, post strukturalisme membawa pendekatan yan berbeda. Meskipun sama-sama menggunakan pendekatan strukturalis, namun post strukturalisme memperluas bahwa penguasaan atau hegemoni itu tidak hanya dilakukan dengan moda produksi tapi juga dengan kode produksi. Secara mudah pos strukturalisme memperluas bahwa penguasaan itu tidak hanya dilakukan dengan dominasi atas sumber daya namun juga simbol dan budaya.
Post strukturalisme berkembang dari disiplin ilmu soal penggunaan bahasa (linguistik). Tokoh yang terkenal Michel Foucault dari perancis dan koleganya karena kajian ini memang berkembang disana sebelum berkembang ke eropa terutama Inggris dan amerika. Ada satu teori di post strukturalisme soal kematian pengarang. Bahwa sebuah teks sah saja diartikan berbeda oleh pembacanya meskipun berbeda dengan maksud si pengarang. Karena ada mindset, pengalaman dan pengetahuan yang berbeda.
Pendekatan pos strukturalisme kemudian berkembang dan digunakan untuk menganalisa hal lain sehingga nyambung dengan teori pos kolonialisme dan post developmentalisme. Bisa dipahami post strukturalisme sebagai teori dasar dan para intelektual dari bekas negara-negara terjajah seperti dari India, Afrika atau negara-negara timur yang mengembangkan disiplin ini untuk menggugat hegemoni para kolonialis. Nah di kelas saya waktu kemarin seorang mahasiswa S3 dari Scripps school menjelaskan perspektifnya soal poskolonialisme.
Saya pernah ikut seminarnya dua minggu sebelumnya yang membahas sebuah film tentang Botswana dengan judul A United Kingdom (2016). Kalo ada pernah nonton film God Must Be Crazy, maka yang anda tonton adalah keindahan alam Botswana. Salah satu kritik soal film A United Kingdom atau God Must Be Crazy dari perspektif poskolonialisme adalah misrepresentasi atau bias kolonialis.
Menurut kajian poskolonial, imaji dari negara-negara bekas jajahan itu biasanya digambarkan sebagai bangsa yang terbelakang, liar dan perlu di bantu untuk menuju modernisasi. Seperti alibi negara-negara eropa dulu melakukan imperialisme karena tujuan menyebarkan agama padahal motif utamanya adalah ekonomi. Seperti dalam film-film Hollywood zaman dulu, maka orang kulit hitam digambarkan sebagai kriminal, narkoba. Afrika itu ya alam liar, binatang buas, safari. Orang asia itu pedagang dan berbagai stereotype keterbelakangan lainnya.
Poin yang dia sampaikan utamanya adalah bahwa poskolonialisme adalah kajian yang cukup luas dan para penggagasnya ada yang di titik ekstrim seperti Fanon atau yang lebih moderat seperti Edward Said dengan kajian Orientalisme nya. Sebagai sebuah pengantar sesi ini cukup penting untuk memberi dasar perspektif awal bahwa banyak bias dalam melihar fenomena ini. Dan bagi kita berasal dari negara-negara bekas jajahan maka kajian poskolonialisme penting supaya bisa lebih percaya diri dan tidak terhinggapi mental inlander. Bahwa kita juga punya potensi sama dan peluang yang sama untuk maju dan berkembang.
Pengalaman dari Grass Root, Kisah dari Palestina
Dalam sesi kuliah IDS ini Dr. Smucker selain meminta mahasiswa untuk mereview teori juga sebagian ditugaskan untuk menyampaikan praktek dari teori itu di lapangan. Nah dalam sesi ini, teman saya Dareen dari Palestina menyampaikan pengalaman dari negaranya yaitu RightToMovement. Gerakan ini mengkampanyekan hak asasi manusia dan terutama hak-hak bagi perempuan. Salah satu targetnya adalah juga untuk mengadvokasi eksistensi bangsa Palestina di peta dunia baik itu di aplikasi Goole atau Apple.
Percayalah banyak fakta yang sebetulnya kita tidak tahu soal Palestina bahkan bagi muslim sekalipun. Misalnya satu contoh, bahwa Palestina itu negara sekuler di dalamnya meskipun mayoritas beragama Islam tapi ada juga yang non muslim. Coba cek di wikipedia deh 93% muslim dengan mayoritas sunni dan sedikit Ahmadiyah (ini muslim lho!!!), 6 % sisanya beragama kristen, dan ini mungkin yang banyak yang nggak tahu kalo ada 1% yang beragama Druze, Samaritan dan Yahudi.
Balik agi ke RightToMovement di atas intinya adalah ingin menunjukkan narasi lain tentang Palestina. Imaji yang tidak terwakili dari gambaran-gambaran soal negara ini yang kita tahu dan saksikan di berbagai media mainstream.
Sebagai penutup dan mungkin untuk gambaran yang lebih lengkap bisa tonton beberapa link berikut ya....
Pendekatan pos strukturalisme kemudian berkembang dan digunakan untuk menganalisa hal lain sehingga nyambung dengan teori pos kolonialisme dan post developmentalisme. Bisa dipahami post strukturalisme sebagai teori dasar dan para intelektual dari bekas negara-negara terjajah seperti dari India, Afrika atau negara-negara timur yang mengembangkan disiplin ini untuk menggugat hegemoni para kolonialis. Nah di kelas saya waktu kemarin seorang mahasiswa S3 dari Scripps school menjelaskan perspektifnya soal poskolonialisme.
Saya pernah ikut seminarnya dua minggu sebelumnya yang membahas sebuah film tentang Botswana dengan judul A United Kingdom (2016). Kalo ada pernah nonton film God Must Be Crazy, maka yang anda tonton adalah keindahan alam Botswana. Salah satu kritik soal film A United Kingdom atau God Must Be Crazy dari perspektif poskolonialisme adalah misrepresentasi atau bias kolonialis.
Menurut kajian poskolonial, imaji dari negara-negara bekas jajahan itu biasanya digambarkan sebagai bangsa yang terbelakang, liar dan perlu di bantu untuk menuju modernisasi. Seperti alibi negara-negara eropa dulu melakukan imperialisme karena tujuan menyebarkan agama padahal motif utamanya adalah ekonomi. Seperti dalam film-film Hollywood zaman dulu, maka orang kulit hitam digambarkan sebagai kriminal, narkoba. Afrika itu ya alam liar, binatang buas, safari. Orang asia itu pedagang dan berbagai stereotype keterbelakangan lainnya.
Poin yang dia sampaikan utamanya adalah bahwa poskolonialisme adalah kajian yang cukup luas dan para penggagasnya ada yang di titik ekstrim seperti Fanon atau yang lebih moderat seperti Edward Said dengan kajian Orientalisme nya. Sebagai sebuah pengantar sesi ini cukup penting untuk memberi dasar perspektif awal bahwa banyak bias dalam melihar fenomena ini. Dan bagi kita berasal dari negara-negara bekas jajahan maka kajian poskolonialisme penting supaya bisa lebih percaya diri dan tidak terhinggapi mental inlander. Bahwa kita juga punya potensi sama dan peluang yang sama untuk maju dan berkembang.
Pengalaman dari Grass Root, Kisah dari Palestina
Dalam sesi kuliah IDS ini Dr. Smucker selain meminta mahasiswa untuk mereview teori juga sebagian ditugaskan untuk menyampaikan praktek dari teori itu di lapangan. Nah dalam sesi ini, teman saya Dareen dari Palestina menyampaikan pengalaman dari negaranya yaitu RightToMovement. Gerakan ini mengkampanyekan hak asasi manusia dan terutama hak-hak bagi perempuan. Salah satu targetnya adalah juga untuk mengadvokasi eksistensi bangsa Palestina di peta dunia baik itu di aplikasi Goole atau Apple.
Percayalah banyak fakta yang sebetulnya kita tidak tahu soal Palestina bahkan bagi muslim sekalipun. Misalnya satu contoh, bahwa Palestina itu negara sekuler di dalamnya meskipun mayoritas beragama Islam tapi ada juga yang non muslim. Coba cek di wikipedia deh 93% muslim dengan mayoritas sunni dan sedikit Ahmadiyah (ini muslim lho!!!), 6 % sisanya beragama kristen, dan ini mungkin yang banyak yang nggak tahu kalo ada 1% yang beragama Druze, Samaritan dan Yahudi.
Balik agi ke RightToMovement di atas intinya adalah ingin menunjukkan narasi lain tentang Palestina. Imaji yang tidak terwakili dari gambaran-gambaran soal negara ini yang kita tahu dan saksikan di berbagai media mainstream.
Sebagai penutup dan mungkin untuk gambaran yang lebih lengkap bisa tonton beberapa link berikut ya....
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung