Dalam konteks nasional ada dua hal penting yang akan menentukan pembangunan bangsa ke depan. Pertama, Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang lebih dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2015-2030, dengan 17 tujuan dan 230 Indikator (Indikator masih bisa bertambah) yang disepakati sebagai benchmark untuk mengukur dan memandu pembangunan Internasional dalam 15 tahun ke depan.
Namun sebaliknya dua momentum ini bisa terlewat begitu saja jika bangsa ini gagal menjaga dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, termasuk mengurangi berbagai faktor risiko yang bisa mengancam kualitas generasi bangsa. Salah satu ancaman itu adalah darurat nasional pandemi zat adiktif terutama narkotika, pskotropika dan zat adiktif lain termasuk minuman keras dan konsumsi rokok.
Kebijakan Presiden Jokowi yang menempatkan perang terhadap Narkoba sebagai salah satu agenda Nasional, sudah tepat. Meski demikian kebijakan yang sama tidak diterapkan kepada zat adiktif lain seperti produk tembakau dan minuman keras. Padahal alkohol dan rokok adalah pintu gerbang narkotika dan psikotropika (gateway drugs). Jika pemerintah gagal mengatur dan membatasi penggunaan alkohol dan rokok maka perang terhadap narkoba telah kehilangan makna utamanya sejak semula.
Tobacco Atlas 2015 menunjukkan 2 dari 3 orang laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok (66%) dan merupakan negara dengan jumlah perokok laki-laki dewasa tertinggi di dunia. ASEAN Tobacco Atlas 2016 menunjukkan konsumsi rokok per kapita Indonesia naik dari 725 batang/tahun (2000) menjadi 1.098 batang/tahun (2015). Sementara itu, remaja pengkonsumsi minuman keras naik dari 4,9% (Riskesdas 2007) menjadi 23% (Gerakan Nasional Anti Miras 2014).
Seperti kita tahu bahwa tingginya konsumsi zat adiktif akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas SDM ke depan. Generasi muda yang terjerat narkoba akan kehilangan masa depan gemilang dan jatuh dalam lubang adiksi yang memilukan. Dia akan sulit berprestasi. Begitu pula keluarga yang memiliki perokok (kepala keluarga perokok) pengeluarannya sebagian akan tersandera untuk konsumsi rokok. Bahkan data Susesnas tahun 2016 menunjukkan pengeluaran untuk rokok lebih besar daripada pengeluaran untuk beras sekalipun. Pengeluaran rokok juga mengalahkan prioritas untuk pengeluaran lain yang produktif seperti kesehatan dan pendidikan. So, selain silent killer bagi para pengguna dan orang sekitarnya, konsumsi zat adiktfi juga berpotensi menjerumuskan keluarga ke dalam vicius cycle lingkaran setan kemiskinan yang akut.
Sejauh ini berbagai regulasi yang ada belum efektif untuk mengendalikan semakin tingginya konsumsi rokok di Indonesia. Salah satu akar masalahnya adalah adanya inkonsistensi dalam pengaturan dan pengendalian produk rokok. Sebagai contohm meskipun tembakau dikategorikan sebagai zat adiktif namun masih diperbolehkan beriklan. Berbeda dengan alkohol yang dilarang total. Begitu pula, perubahan kebijakan pemerintah yang mencabut larangan penjualan alkohol dan menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) adalah contoh lain kebijakan yang menuai banyak sekali kontroversi.
Kegagalan negara dalam mengendalikan konsumsi rokok dan zat adiktif lain mengancam perlindungan terhadap hak hidup dan hak atas kesehatan masyarakat serta kesejahteraan rakyat. Selain itu, jika pandemi zat adiktif tidak dikendalikan maka ia akan menjadi batu sandung yang menggagalkan bangsa ini dalam mencapai berbagai Target SDGs. Kondisi darurat zat adiktif akan menjadikan melimpahnya usia produktif alih-alih menjadi Bonus malah bisa jadi akan menjadi Bencana Demografi.
diposting juga di Indonesiana
Kedua, momentum bonus demografi atau demographic divident, yaitu kondisi dimana bangsa Indonesia akan memiliki penduduk usia produktif yang melimpah jauh melampaui penduduk usia tidak produktif sehingga mencapai titik terendah ketergantungan antar penduduk. Banyaknya usia produktif akan menguntungkan bangsa ini mencapai berbagai tujuannya dengan penduduk usia yang relatif muda.
Namun sebaliknya dua momentum ini bisa terlewat begitu saja jika bangsa ini gagal menjaga dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, termasuk mengurangi berbagai faktor risiko yang bisa mengancam kualitas generasi bangsa. Salah satu ancaman itu adalah darurat nasional pandemi zat adiktif terutama narkotika, pskotropika dan zat adiktif lain termasuk minuman keras dan konsumsi rokok.
Kebijakan Presiden Jokowi yang menempatkan perang terhadap Narkoba sebagai salah satu agenda Nasional, sudah tepat. Meski demikian kebijakan yang sama tidak diterapkan kepada zat adiktif lain seperti produk tembakau dan minuman keras. Padahal alkohol dan rokok adalah pintu gerbang narkotika dan psikotropika (gateway drugs). Jika pemerintah gagal mengatur dan membatasi penggunaan alkohol dan rokok maka perang terhadap narkoba telah kehilangan makna utamanya sejak semula.
Tobacco Atlas 2015 menunjukkan 2 dari 3 orang laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok (66%) dan merupakan negara dengan jumlah perokok laki-laki dewasa tertinggi di dunia. ASEAN Tobacco Atlas 2016 menunjukkan konsumsi rokok per kapita Indonesia naik dari 725 batang/tahun (2000) menjadi 1.098 batang/tahun (2015). Sementara itu, remaja pengkonsumsi minuman keras naik dari 4,9% (Riskesdas 2007) menjadi 23% (Gerakan Nasional Anti Miras 2014).
Seperti kita tahu bahwa tingginya konsumsi zat adiktif akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas SDM ke depan. Generasi muda yang terjerat narkoba akan kehilangan masa depan gemilang dan jatuh dalam lubang adiksi yang memilukan. Dia akan sulit berprestasi. Begitu pula keluarga yang memiliki perokok (kepala keluarga perokok) pengeluarannya sebagian akan tersandera untuk konsumsi rokok. Bahkan data Susesnas tahun 2016 menunjukkan pengeluaran untuk rokok lebih besar daripada pengeluaran untuk beras sekalipun. Pengeluaran rokok juga mengalahkan prioritas untuk pengeluaran lain yang produktif seperti kesehatan dan pendidikan. So, selain silent killer bagi para pengguna dan orang sekitarnya, konsumsi zat adiktfi juga berpotensi menjerumuskan keluarga ke dalam vicius cycle lingkaran setan kemiskinan yang akut.
Sejauh ini berbagai regulasi yang ada belum efektif untuk mengendalikan semakin tingginya konsumsi rokok di Indonesia. Salah satu akar masalahnya adalah adanya inkonsistensi dalam pengaturan dan pengendalian produk rokok. Sebagai contohm meskipun tembakau dikategorikan sebagai zat adiktif namun masih diperbolehkan beriklan. Berbeda dengan alkohol yang dilarang total. Begitu pula, perubahan kebijakan pemerintah yang mencabut larangan penjualan alkohol dan menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) adalah contoh lain kebijakan yang menuai banyak sekali kontroversi.
Kegagalan negara dalam mengendalikan konsumsi rokok dan zat adiktif lain mengancam perlindungan terhadap hak hidup dan hak atas kesehatan masyarakat serta kesejahteraan rakyat. Selain itu, jika pandemi zat adiktif tidak dikendalikan maka ia akan menjadi batu sandung yang menggagalkan bangsa ini dalam mencapai berbagai Target SDGs. Kondisi darurat zat adiktif akan menjadikan melimpahnya usia produktif alih-alih menjadi Bonus malah bisa jadi akan menjadi Bencana Demografi.
diposting juga di Indonesiana
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung