Beberapa kalangan mengajukan penolakan kepada
presiden republik Indonesia terhadap rencana aksesi FCTC (Framework Convention
on Tobacco Control). Penolakan ini muncul terkait usaha kementerian Kesehatan
yang sedang mengupayakan agar Indonesia melakukan aksesi terhadap FCTC. Upaya
serupa juga dilakukan oleh Komnas HAM RI yang telah mengajukan Naskah Akademis
beserta RUU FCTC kepada DPR RI. Komnas HAM berpandangan FCTC sebagai sebagai
salah satu instrumen yang mampu memperkuat perlindungan HAM di Indonesia.
Penolakan ini berkutat seputar kekhawatiran pengaruh
regulasi ini terhadap pertanian dan ekonomi tembakau. Pertama, bahwa ratifikasi
FCTC akan mematikan industri kretek nasional. Industri rokok mengklaim bahwa
pengaturan masalah rokok akan menyebabkan banyak industri rokok yang akan
gulung tikar dan tidak mampu bertahan menghadapi ketatnya regulasi. Kedua,
bahwa FCTC dan pengaturan rokok akan mematikan petani tembakau, hal ini terkait
dengan salah satu pasal dalam FCTC yang mendorong negara anggota untuk membantu
petani tembakau beralih tanam ke tanaman lain yang lebih menguntungkan.
Pengaturan juga dikhawatirkan akan mengurangi permintaan tembakau karena
konsumsi rokok berkurang. Ketiga, pengaturan dianggap sebagai politik dagang
upaya intervensi asing untuk menguasai pasar industri nasional dengan cara
memperketat regulasi dan mengatur standar produksi industri rokok dan
persaingan pasar nikotin.
Indonesia
Surga Industri Rokok
Perkembangan pengaturan masalah rokok di Indonesia
berkembang cukup signifikaan dalam beberapa tahun terakhir dengan diterbitkan
UU no. 36/2009 tentang kesehatan beserta turunannya yaitu PP 109 tahun 2012.
Namun sejauh ini argumentasi dan kekhawatiran yang dikemukakan oleh industri
belum terbukti kebenarannya. Indonesia masih menjadi lahan yang sangat nyaman
bagi industri rokok. Produksi Rokok meningkat pesat dari 270 milliar batang
pada tahun 2010 menjadi 302 milliar batang pada tahun 2012, naik 32 milliar
dalam 2 tahun. Jumlah produksi ini bahkan sudah jauh melampaui target roadmap
industri rokok yang menargetkan produksi rokok 270 milliar batang pada tahun
2014. Industri rokok Indonesia berkembang dengan sangat pesat di Indonesia dan
mendapatkan keuntungan yang melimpah ruah.
Kondisi pasar industri rokok yang sangat ‘tobacco
industry friendly’ ini mengundang industri rokok internasional untuk ikut
mengecap manisnya pasar rokok di Indonesia dimana mereka terdesak berbagai
regulasi di negara-negara maju. Industri rokok internasional berbondong-bondong
mengarahkan peluru pemasarannya ke Indonesia. Bentoel dibeli oleh KT & J,
HM Sampoerna salah satu industri rokok terkemuka di Indonesia dibeli oleh
Phillip Morris dari Amerika tahun 2005 dengan harga 48 triliun. Dan Sampoerna
sudah memberikan keuntungan 9 triliun kepada phillip Morris hanya pada tahun
2012 saja. Artinya hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun seluruh modal Phillip
Morris sudah dapat kembali utuh. Selain itu, dengan membeli Sampoerna maka
Phillip Morris sekarang bisa menikmati pasar rokok kretek yang dulu secara
eksklusif hanya dimiliki oleh industri rokok nasional. Sehingga dengan kondisi
pasar saat ini industri kretek sudah tidak lagi dikuasai hanya oleh industri
dalam negeri tapi juga industri rokok multinasional.
Industri rokok juga melakukan berbagai event
internasional di Indonesia dimana mereka sudah diusir di negara lain di seluruh
dunia. Pameran World Tobacco Asia (WTA) yang merupakan salah satu pameran
industri rokok terbesar di dunia diadakan di Indonesia tahun 2010 dan 2012.
Meskipun menghadapi demonstrasi dan penolakan dari masyarakat dan bahkan oleh
menteri kesehatan, Industri rokok tidak kapok dan kembali akan melakukan
pameran serupa tahun 2014. Bahkan Pameran industri rokok lain juga akan
diadakan yaitu Intertabac 2014 yang berbasis dari Dortmund Jerman.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan industri
rokok meraup keuntungan begitu banyak, Pertama, isu masalah rokok masih
dianggap isu peripheral dalam bidang kesehatan di masyarakat luas. Posisi rokok
dan merokok masih dianggap sebagai perilaku normal dan hal yang wajar sehingga
istilah ‘uang rokok’ masih popular. Industri berhasil menyematkan berbagai
kesan ‘positif’ dan mencuci impresi bahwa rokok merupakan produk mematikan.
Kedua, proses pengaturan rokok yang belum berjalan secara komprehensif sehingga
menyisakan kelonggaran dimana-mana. Kondisi ini juga didukung oleh pertumbuhan
penduduk yang sangat pesat, kontrol sosial yang rendah dan regulasi yang
dihambat dimana-mana membuat pertumbuhan perokok meningkat berkali lipat.
Akibatnya laju prevalensi perokok di Indonesia berkembang dengan sangat pesat,
dan Indonesia hingga saat ini tercatat sebagai negara dengan prevalensi perokok
lelaki tertinggi di Dunia (67%). Para Pemilik Industri rokok pun mengeruk
keuntungan yang melimpah ruah. Bahkan 3 urutan pertama orang terkaya di
Indonesia berhasil dikuasai bertahun-tahun oleh para saudagar nikotin.
Sehingga dengan fakta yang ada, tuduhan bahwa
regulasi telah membunuh industri rokok sama sekali tidak memiliki dasar yang
kuat. Yang terjadi justru sebaliknya, karena proses regulasi yang tidak
komprehensif dan kurang ketat, sehingga perkembangan industri rokok tidak
terkendali dan efek buruknya semakin menjadi yang akan menjadi bom waktu bagi
ketahanan bangsa dalam jangka panjang.
Yang kaya
makin kaya, yang miskin tetap miskin
Namun apakah kejayaan para cukong nikotin ini juga
dirasakan oleh para petani tembakau dan para pekerja di Industri rokok? Fakta
menunjukkan bahwa kondisi petani tembakau dan pekerja Industri rokok berbanding
terbalik dengan keadaan para pengusaha rokok. Mereka tidak mendapatkan
keuntungan dari booming konsumsi produk tembakau di Indonesia. Di saat konsumsi
rokok meningkat dengan pesat, jumlah produksi tembakau dan lahan pertanian
tembakau di Indonesia mengalami penurunan.
Data BPS menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10
tahun (2000 – 2010), luas lahan tembakau menurun dari 260.738 ha tahun 1999
menjadi 204.405 ha tahun 2009. Begitu juga dalam produksi daun tembakau dalam
negeri, dalam 10 tahun terjadi penurunan produksi daun tembakau sebesar 33 %
dari 204.329 ton menjadi 135.678 ton.
Dua data ini merupakan sebuah anomaly, dimana pada saat yang sama
konsumsi rokok meningkat 30 miliar batang dalam 2 tahun, namun luas lahan dan
produksi rokok malah menurun dengan signifikan. Sewajarnya peningkatan jumlah
produksi dan konsumsi rokok akan mendorong meningkatnya produksi daun tembakau
untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Untuk menutupi kebutuhan produksi pabriknya,
alih-alih meningkatkan produksi petani tembakau, industri memilih cara instan
dengan melakukan impor tembakau secara besar-besaran. Dalam kurun waktu 10
tahun (2000-2012), impor tembakau meningkat hampir 2 kali lipat dari 34 ribu
ton menjadi 65 ribu ton. Nilai impor ini semakin meningkat untuk memenuhi
kebutuhan industri rokok. Bahkan menurut data BPS tahun 2012, hingga bulan Juli
nilai impor tembakau sudah mencapai 81 ribu ton dengan nilai 380 juta dollar. Kebijakan
impor ini yang membuat daya tawar petani terhadap industri semakin menurun,
apalagi ditambah dengan tata niaga yang merugikan petani maka lengkap sudah
penderitaan petani tembakau. Terus meningkatnya kebijakan impor tembakau oleh
industri rokok menyisakan tandatanya besar keberpihakan mereka terhadap petani.
Namun disisi lain, industri mencoba mencuci tangan mengaburkan fakta ini dengan
menyebutkan impor naik karena regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah.
Pekerja di sektor industri tembakau juga tidak
mengalami nasib yang lebih baik. Masih menurut data BPS proporsi pekerja sektor
industri pengolahan tembakau selalu dibawah 1% dalam kurun waktu 1985 – 2009.
Dalam 11 tahun (2000 – 2011) rata-rata upah minimal per bulan pekerja industri
rokok selalu lebih rendah dari rata-rata upah pekerja industri secara
keseluruhan. Rata-rata upah minimal bulanan pekerja di industri rokok adalah Rp
615 ribu sedangkan di industri makanan Rp 751 ribu dan rata-rata upah bulanan
di seluruh industri Rp 901 ribu (Fakta Tembakau 2011).
Selain di sektor pertanian tembakau dan pekerja
industri pengolahan tembakau anomali juga terjadi di struktur industri tembakau
itu sendiri. Banyak perusahaan industri rokok skala kecil dan menengah yang
gulung tikar karena tidak kuat menjalani persaingan dengan
perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang tiada terhingga. Sebagaimana terjadi
di Solo, menurut Ahmad Yasir, Ketua Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan
Minuman (SPRTMM) Solo, dari sekira 20 perusahaan, rokok di solo, kini kurang
dair 10 yang bertahan, sisanya tutup atau dijual karena tidak sanggup bersaing
dengan perusahaan besar. Ada semacam fenomena kanibalisme di antara
pabrik-pabrik rokok, dimana dengan modal yang kuat perusahaan rokok dapat
beriklan dengan budget yang besar dan melindas perusahaan rokok kecil.
Data dari Fakta Tembakau tahun 2011 menunjukkan
bahwa pada tahun 2009, 77 % Pangsa pasar industri rokok dikuasai oleh
4 perusahaan rokok besar yaitu HM Sampoerna (29%), Gudang Garam (21,1%) dan
Djarum (19,4%) dan BAT dan Bentoel menguasai (8%). Diantara 4 perusahaan besar
itu dua diantaranya adalah milik asing, sehingga dapat disimpulkan bahwa 37%
pasar rokok Indonesia dikuasai oleh Asing (Philip Morris dan BAT).
Kambing Hitam
FCTC
Namun dalam perdebatan di publik industri selalu
menutup mata mengenai fakta-fakta tersebut. Dalam rangka melawan upaya
pengendalian rokok, industri selalu menjadikan petani tembakau dan upah buruh
industri pengolahan rokok sebagai tameng untuk membela kepentingan mereka. Maka
dihembuskanlah berbagai mitos bahwa kerugian dan kesulitan yang dialami oleh
para petani tembakau dan buruh pekerja rokok adalah karena upaya regulasi rokok
yang dilakukan oleh pemerintah.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh petani adalah
tata niaga tembakau yang tidak memihak kepada petani itu sendiri. Dan hal ini
sengaja didesain oleh industri rokok supaya petani tidak leluasa menetapkan
harga dan tidak memiliki daya tawar yang kuat terhadap industri. Selain itu,
permasalahan yang dihadapi petani tembakau adalah anomaly cuaca yang semakin
tidak menentu. Tembakau adalah tumbuhan yang memerlukan sinar matahari yang cukup
agar dapat tumbuh dengan baik. Curah hujan yang tidak menentu dan kurangnya
dukungan dari industri terhadap petani dengan menciptakan pasar yang monopsoni
mengakibatkan petani lebih sering merugi ketika menghadapi musim panen.
Pengalaman di negara-negara penghasil tembakau
menunjukkan bahwa pengaturan masalah rokok seketat apapun tidak menimbulkan
gejolak sosial ekonomi di kalangan masyarakatnya. Negara-negara penghasil
tembakau dan produsen rokok seperti China, India, Brazil, Uruguay dan Amerika Serikat
tidak serta merta industri rokok dan petani tembakaunya tutup karena melakukan
pengendalian rokok yang super ketat. Bahkan di pasar tembakau internasional
mereka masih bisa menguasai peredaran rokok dan pertanian tembakau.
Permasalahan petani dan industri rokok adalah sejauh mana pemerintah mengatur
peredaran dan menetapkan tata niaga yang fair sehingga industri dan pertanian
bisa tetap berkembang. Dan untuk melakukan itu tentu tidak dengan menerapkan
pasar liberal dengan membiarkan produk adiktif dan mematikan beredar luas tanpa
restriksi yang efektif, karena pengendalian bagi barang merusak seperti itu
adalah mutlak diperlukan.
Adapun mitos pengendalian konsumsi rokok disebut
ditunggangi kepentingan industri farmasi dan bagian dari politik dagang perusahaan
rokok internasional adalah mitos yang lemah dasar argumentasiny. Industri
farmasi akan mendapatkan keuntungan yang berlimpah ruah di masyarakat yang
rentan kepada penyakit. Semakin banyak faktor resiko yang menyebar di
masyarakat, semakin banyak orang yang akan sakit dan semakin laris pulalah
obat-obatan yang diperjualbelikan. Industri obat akan berjaya dan mendapatkan
keuntungan besar saat orang banyak yang sakit. Sehingga logika bahwa pengaturan
rokok akan menguntungkan industri farmasi sudah salah sejak di dalam pikiran.Karena
masyarakat yang lebih sehat tentu bukan kondisi bisnis yang ideal bagi industri
farmasi.
Mitos persaingan pemasaran terapi nikotin pengganti (Nicotine
Replacement Therapy) juga mudah sekali untuk dibantah. Di berbagai belahan
dunia terapi berhenti merokok dengan menggunakan terapi nikotin pengganti tidak
memiliki proporsi yang besar dan hanya ‘laku’ di negara-negara maju dengan
tingkat ekonomi yang sudah mapan. Terapi pengganti nikotin membutuhkan biaya
yang cukup mahal, sehingga terapi seperti ini sama sekali tidak popular di
negara-negara berkembang. Harga-harga produk NRT berkisar antara 3 – 6 dollar
untuk pemakaian per hari, harga yang tinggi jika disbanding sebungkus rokok di
Indonesia. Jika orang diminta untuk memilih berhenti merokok dengan pengobatan
terapi niktoin pengganti yang mahal atau melanjutkan kebiasaan merokok, maka
orang akan memilih untuk kembali menghisap rokok.
Mitos politik dagang dan perdagangan nikotin sengaja
dihembuskan untuk mengaburkan pandangan masyarakat terhadap upaya kesehatan
perlindungan dari zat adiktif. Masalah rokok adalah masalah yang tidak terlalu
rumit, ini adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat versus
kepentingan industri nikotin yang telah menggurita dan memonopoli di seluruh
dunia. Hal yang simple seperti ini kemudian dibuat rumit dengan berbagai mitos
yang dihembuskan oleh industri untuk mengamankan bisnis bernilai ratusan
triliun rupiah. Wallahu a’lam.
Deni Wahyudi
Kurniawan
Peneliti Indonesian Institute for Social Development
Wakil Sekretaris Lembaga Hubungan Luar Negeri PP
Muhammadiyah
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung