Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia sedang mengajukan inisiatif aksesi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) kepada presiden RI. Kementerian Kesehatan
telah menyelenggarakan beberapa pertemuan dengan melibatkan berbagai
kementerian terkait dan kelompok masyarakat baik yang mendukung ataupun yang
menolak aksesi FCTC. Menteri kesehatan RI, Nafsiah Mboi menekankan pentingnya
aksesi FCTC bagi Indonesia agar Indonesia memiliki regulasi pengendalian tembakau
yang komprehensif.
Namun inisiatif
Menteri Kesehatan ini masih mendapat penentangan dari beberapa kementerian.
Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Perindustrian
masih belum mendukung aksesi FCTC karena khawatir aksesi FCTC akan merugikan industri
rokok dan ekonomi nasional. Diantara argumentasi yang disampaikan kementerian
tersebut adalah kekhawatiran aksesi FCTC akan menyebabkan maraknya pengangguran,
menghambat industri rokok lokal, mengurangi pendapatan negara dan mengganggu
stabilitas nasional.
Penolakan beberapa
kementerian menyebabkan proses aksesi FCTC menjadi terhambat, sehingga inilah
saatnya Presiden RI untuk mengambil sikap dalam perlindungan kesehatan
masyarakat ini.
FCTC Komitmen Bersama
WHO memperkirakan
bahwa pandemi Tembakau bisa menyebabkan 1 milliar kematian secara global di
abad 21 jika Dunia tidak bertindak. Konsumsi rokok juga merupakan salah satu
dari empat faktor resiko yang menimbulkan kematian tertinggi di dunia bersama
dengan konsumsi alkohol, diet yang tidak sehat dan kurangnya aktifitas fisik.
Sehingga pada tahun 2003 negara-negara anggota WHO dalam sidang Majelis
Kesehatan Dunia bersepakat untuk memerangi pandemi Tembakau dengan menetapkan
FCTC.
FCTC merupakan
traktat internasional pertama dalam bidang kesehatan masyarakat yang dikeluarkan
oleh WHO, dan hingga saat ini masih tercatat sebagai perjanjian yang paling
cepat diratifikasi oleh negara-negara di dunia. FCTC diusung oleh negara-negara
berkembang termasuk Indonesia yang mengkhawatirkan massifnya pemasaran produk
tembakau industri rokok multinasional dari negara-negara maju, semakin
meningkatnya pervalensi perokok di dunia dan semakin tingginya angka kematian
yang terkait konsumsi rokok.
FCTC dibahas secara detail selama 3 tahun dengan
melibatkan berbagai pihak terkait termasuk industri rokok. Delegasi Indonesia (DELRI)
yang terdiri dari Depkes, BPPOM,
Depkeu cq Ditjen Bea Cukai, Depnaker, Deperindag, Deplu juga wakil asosiasi
profesi dan LSM merupakan salah satu peserta aktif yang
terlibat dalam panitia perumusan naskah (drafting
committee) dari FCTC.
Namun ironinya,
hingga saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia dan
salah satu diantara dua negara OKI (bersama Somalia) yang belum meratifikasi
FCTC. Sehingga dalam konteks ini Indonesia dianggap negara yang tidak memiliki
komitmen dalam perlindungan kesehatan warga secara Internasional. Dalam
berbagai pertemuan Indonesia harus duduk di belakang negara-negara lain yang
menjadi party FCTC.
Dengan tidak meratifikasi
FCTC dan tidak memiliki pengaturan komprehensif di dalam negeri, Indonesia
menjadi negara besar yang paling rentan dalam pemasaran produk tembakau. Indonesia
menjadi tujuan pasar rokok Internasional.
Paranoia FCTC
Berbagai
kekhawatiran yang dilontarkan oleh beberapa kementerian tentang efek negatif
dari aksesi FCTC sejatinya tidak beralasan. Pengalaman dari berbagai negara
menunjukkan bahwa aksesi FCTC tidak memberikan efek negatif baik secara sosial
maupun ekonomi.
Data tatistik
pertanian FAO menunjukkan bahwa pertanian tembakau dunia tidak terpengaruh oleh
FCTC. Pengalaman dari China, Brazil dan India yang menguasai 57,4% produksi
tembakau dunia pada tahun 2002 bahkan meningkat menjadi 64,3% pada tahun 2010.
India meratifikasi FCTC pada tahun 2005 sedangkan China dan Brazil
meratifikasinya pada tahun 2007. Sementara disisi lain Indonesia, AS dan
Zimbabwe yang belum meratifikasi FCTC menurun produksi tembakaunya dari total
11,3% pada tahun 2002 menjadi 7,9% pada tahun 2010. Pada saat yang sama, Indonesia
hanya menguasai 1,9% produksi Tembakau Dunia, bahkan Indonesia harus mengmpor hampir 60% (65.685 ton)
tembakau untuk menutupi kebutuhan produksi sebesar 135.678 ton. Data ini
menunjukkan bahwa aksesi FCTC tidak berpengaruh terhadap pertanian tembakau
suatu negara.
Aksesi FCTC juga
tidak akan menghancurkan industri rokok karena permintaan konsumsi rokok yang
elastis dan juga karena pertumbuhan penduduk. Pengalaman Thailand menunjukkan
bahwa sejak mengaksesi FCTC pada tahun 2004, konsumsi tembakau Thailand tetap
stabil bahkan mengalami peningkatan dari 1.942 bungkus pada tahun 1991 menjadi
2.038 bungkus pada tahun 2011. Namun disisi lain Thailand berhasil meningkatnya
pendapatan cukai tembakau hingga 4 kali lipat dari 530 juta dollar tahun 1991
menjadi 1.907 juta dollar tahun 2011, atau naik nyaris menjadi 4 kali lipat. Tidak
perlu ada kekhawatiran dari Industri rokok bahwa dengan aksesi FCTC, penjualan
akan menurun. FCTC hanya akan memperlambat peningkatan konsumsi itupun
berlangsung secara perlahan.
FCTC juga
menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota. FCTC secara jelas
menyebutkan bahwa kerangka pengaturan yang ada di dalam traktat tersebut
sepenuhnya dilaksanakan dengan menghormati dan memperhatikan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan masing-masing negara anggota.
Sejatinya,
pengaturan produk tembakau sudah dilakukan jauh-jauh hari dan sudah merupakan
trend global dalam melindungi masyarakat dari konsumsi rokok. Dengan tidak mengaksesi
FCTC, maka Indonesia tidak dapat memperjuangkan gagasannya dalam berbagai forum
pengambilan keputusan yang hanya boleh dihadiri oleh para negara-negara pihak.
Presiden dan Perlindungan Kesehatan Masyarakat
Data Kementerian
Kesehatan menunjukkan bahwa konsumsi tembakau di Indonesia sudah mencapai taraf
darurat. Indonesia merupakan negara dengan jumlah prevalensi perokok laki-laki
tertinggi di dunia dimana 2 dari 3 laki-laki dewasa adalah perokok. Dengan konsumsi
tembakau lebih dari 300 milliar batang per tahun, maka rata-rata penduduk sudah
disiapkan lebih dari 1000 batang rokok per orang setiap tahunnya. Pada tahun
2010 kerugian keuangan karena konsumsi rokok, biaya kesakitan dan kematian
akibat penyakit terkait rokok mencapai 245 triliun lebih besar dibanding penghasilan
cukai rokok pada tahun yang sama sebesar 50 triliun.
Pemerintah tidak
perlu ragu untuk mengaksesi FCTC, karena berbagai jajak pendapat menunjukkan dukungan
masayarakat terhadap upaya pengendalian tembakau selalu tinggi. Survei jajak
pendapat yang dilakukan oleh Indonesian
Institute for Social Development (IISD) dan Lemlitbang UHAMKA pada Mei-Juni
2013 terhadap 1.444 responden di 12 kota menunjukkan bahwa 91,3% masyarakat
mendukung pemerintah mengaksesi FCTC. Dukungan juga tinggi dikalangan perokok
dimana 83,4% responden perokok mendukung pemerintah untuk segera melakukan
aksesi FCTC.
Sehingga saat ini ikut
atau tidaknya Indonesia menjadi pihak FCTC adalah soal keberpihakan dan
komitmen negara dalam perlindungan masyarakat. Negara bertanggung jawab untuk
melakukan perlindungan masyarakat dan memprioritaskan kesehatan masyarakat.
Sehingga selayaknya pemerintah lebih berpihak kepada kepada kepentingan
masyarakat daripada kepentingan ekonomi atau kelompok industri tertentu. Maka seyogyanya
Bapak Presiden segera mengakhiri silang pendapat antar kementerian terkait
upaya pengendalian Tembakau ini dan segera melakukan aksesi terhadap FCTC.
sumber gambar : wikipedia dan who
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung