mudahkanlah, dan jangan dipersulit,
Muhammad SAW
Muhammad SAW
Tulisan ini muncul karena fenomena walimatu safar yang marak saat musim haji tiba. Ditambah lagi, kebiasaan-kebiasaan dalam menjalankan perintah agama yang lain seperti resepsi pernikahan yang terlalu berlebihan.
Pertanyaan penting yang sering muncul mengenai keberagamaan adalah apakah agama itu muncul sebagai kebutuhan manusia atau untuk tuhan? Pertanyaan ini terkadang mengemuka saat kita meragukan fungsi agama bagi perbaikan kehidupan manusia. Ujung-ujungya beragama menjadi sebuah beban, karena dianggap sebagai kewajiban yang harus dilakukan untuk melaksankan titah Tuhan.
Pertanyaan penting yang sering muncul mengenai keberagamaan adalah apakah agama itu muncul sebagai kebutuhan manusia atau untuk tuhan? Pertanyaan ini terkadang mengemuka saat kita meragukan fungsi agama bagi perbaikan kehidupan manusia. Ujung-ujungya beragama menjadi sebuah beban, karena dianggap sebagai kewajiban yang harus dilakukan untuk melaksankan titah Tuhan.
Mengenai hal ini saya teringat dua hal, yang pertama adalah definisi agama yang diajarkan guru akhlak saya waktu SMP. Dia bilang agama adalah syariat allah yang disampaikan melalui para nabi baik itu berupa perintah, larangan dan petunjuk dan yang paling penting tujuannya adalah untuk kemaslahatan umat manusia baik itu di dunia maupun di akhirat. Yang kedua adalah buku guru saya Kiyai Miskun yang berjudul Hajatul Insan Ila Din. Dari keduanya yang saya pahami bahwa agama muncul untuk kemaslahatan manusia dan karenanya manusia membutuhkan agama.
Jika demikian sebetulnya prinsip utama setiap agama muncul untuk membantu manusia menjadi lebih baik. Dan saya percaya semua agama memiliki niat yang sama, menuju kemaslahatan segenap manusia. Saya yakin setiap perintah agama memiliki makna dan hikmahnya tersendiri, baik itu yang bisa langsung kita pahami ataupun tidak. Selalu ada hikmah tasyri'.
Namun pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat ekspresi keagamaan ini juga terbalut dan berkolaborasi dengan nilai-nilau budaya dan kebudayaan di dalam masyarakat yang bersifat khas. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai ritual keagamaan yang membudaya dalam keseharian masyarakat kita. Dari mulai lahiran, khitanan, pernikahan, hingga kematian banyak sekali tradisi yang dapat kita temui. Baik itu yang bersifat adat istiadat dan kebiasaan.
Dalam konteks menjalankan perintah agama saya cenderung proporsional. Kita harus tahu mana yang menjadi benar-benar perintah agama yang ada dalilnya dan mana yang merupakan kebiasaan dan adat istiadat sekitar. Proporsional adalah sewajar dan seharusnya dan bukan pilih-pilih. Dalam bahasa agama ada istilah Talfik yang artinya kurang lebih kita memilih-milih perintah agama yang gampang dilakukan dan meninggalkan yang lainnya.
Karena terkadang kebiasaan memberatkan pelakunya untuk menjalankan perintah agama. Sekedar untuk contoh, seorang teman pernah mengeluh karena untuk menikah kebiasaan daerah calon mempelai perempuan mensyaratkan sejumlah perhiasan sebagai syarat untuk melangsungkan akad nikah. Contoh lain adalah keluarga yang harus susah payah melaksanakan acara keagamaan dengan kebutuhan dana yang sangat banyak terutama untuk pernikahan dan ritual yang lainnya.
Yang sekarang sedang marak misalnya adalah walimatu safar untuk calon haji yang akan berangkat. Saya sungguh tidak habis pikir dengan kebiasaan kebiasaan seperti itu. Terutama jika kemudian itu dianggap sebagai satu kesatuan dengan perintah agama yang harus dilaksanakan. Misalnya repot juga kan kalo untuk menikah syaratnya adalah sekian gram emas atau untuk mengkhitan anak harus ada uang sekian puluhan juta untuk resepsinya padahal khitannya sendiri cukup dengan 300rb rupiah. Padahal kalo mau kita lihat dalam keterangan hadits dan sirah nabi hal-hal seperti itu tidak menjadi persyaratan untuk melakukan suatu perintah agama.
Jika memiliki keluangan dan kelebihan harta silahkan saja dilaksanakan itupun dengan niat dan cara-cara yang pantas dan bermanfaat. Ada orang misalnya yag bisa berangkat haji 2 - 3 kali bahkan lebih. Atau melakukan umroh beberapa kali, sementara tetangga dan didaerah sekitar tempat ia tinggal masih ada keluarga yang memiliki anak yang putus sekolah? Apakah tidak lebih baik uang tersebut disumbangkan untuk beasiswa sekolah anak tidak mampu atau misalnya membayarkan qurban sebuah keluarga miskin.
Bukankah Quran telah menyindir bahwa semua orang bisa menjadi pendusta terhadap ajaran agama kala fugsi sosialnya sebagai khalifah Allah misalnya dnegan membantu sesama terabaikan? Orang yang mendustakan agama bukan orang yang tidak sanggup berangkat haji tapi mereka yang membiarkan orang miskin di sekitarnya kelaparan sementara ia bermewahan, tidak peduli terhadap anak yatim dan melalaikan perintah shalat (al maun).
So, mari kita renungi bahwa kesalehan yang ingin kita capai bukanlah kesalehan yang membuat kita mesra dengan tuhan saja namun juga yang menjadikan kita orang yang lebih peduli dan bermanfaat bagi sesama..
sumber gambar dari sini
Jika demikian sebetulnya prinsip utama setiap agama muncul untuk membantu manusia menjadi lebih baik. Dan saya percaya semua agama memiliki niat yang sama, menuju kemaslahatan segenap manusia. Saya yakin setiap perintah agama memiliki makna dan hikmahnya tersendiri, baik itu yang bisa langsung kita pahami ataupun tidak. Selalu ada hikmah tasyri'.
Namun pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat ekspresi keagamaan ini juga terbalut dan berkolaborasi dengan nilai-nilau budaya dan kebudayaan di dalam masyarakat yang bersifat khas. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai ritual keagamaan yang membudaya dalam keseharian masyarakat kita. Dari mulai lahiran, khitanan, pernikahan, hingga kematian banyak sekali tradisi yang dapat kita temui. Baik itu yang bersifat adat istiadat dan kebiasaan.
Dalam konteks menjalankan perintah agama saya cenderung proporsional. Kita harus tahu mana yang menjadi benar-benar perintah agama yang ada dalilnya dan mana yang merupakan kebiasaan dan adat istiadat sekitar. Proporsional adalah sewajar dan seharusnya dan bukan pilih-pilih. Dalam bahasa agama ada istilah Talfik yang artinya kurang lebih kita memilih-milih perintah agama yang gampang dilakukan dan meninggalkan yang lainnya.
Karena terkadang kebiasaan memberatkan pelakunya untuk menjalankan perintah agama. Sekedar untuk contoh, seorang teman pernah mengeluh karena untuk menikah kebiasaan daerah calon mempelai perempuan mensyaratkan sejumlah perhiasan sebagai syarat untuk melangsungkan akad nikah. Contoh lain adalah keluarga yang harus susah payah melaksanakan acara keagamaan dengan kebutuhan dana yang sangat banyak terutama untuk pernikahan dan ritual yang lainnya.
Yang sekarang sedang marak misalnya adalah walimatu safar untuk calon haji yang akan berangkat. Saya sungguh tidak habis pikir dengan kebiasaan kebiasaan seperti itu. Terutama jika kemudian itu dianggap sebagai satu kesatuan dengan perintah agama yang harus dilaksanakan. Misalnya repot juga kan kalo untuk menikah syaratnya adalah sekian gram emas atau untuk mengkhitan anak harus ada uang sekian puluhan juta untuk resepsinya padahal khitannya sendiri cukup dengan 300rb rupiah. Padahal kalo mau kita lihat dalam keterangan hadits dan sirah nabi hal-hal seperti itu tidak menjadi persyaratan untuk melakukan suatu perintah agama.
Jika memiliki keluangan dan kelebihan harta silahkan saja dilaksanakan itupun dengan niat dan cara-cara yang pantas dan bermanfaat. Ada orang misalnya yag bisa berangkat haji 2 - 3 kali bahkan lebih. Atau melakukan umroh beberapa kali, sementara tetangga dan didaerah sekitar tempat ia tinggal masih ada keluarga yang memiliki anak yang putus sekolah? Apakah tidak lebih baik uang tersebut disumbangkan untuk beasiswa sekolah anak tidak mampu atau misalnya membayarkan qurban sebuah keluarga miskin.
Bukankah Quran telah menyindir bahwa semua orang bisa menjadi pendusta terhadap ajaran agama kala fugsi sosialnya sebagai khalifah Allah misalnya dnegan membantu sesama terabaikan? Orang yang mendustakan agama bukan orang yang tidak sanggup berangkat haji tapi mereka yang membiarkan orang miskin di sekitarnya kelaparan sementara ia bermewahan, tidak peduli terhadap anak yatim dan melalaikan perintah shalat (al maun).
So, mari kita renungi bahwa kesalehan yang ingin kita capai bukanlah kesalehan yang membuat kita mesra dengan tuhan saja namun juga yang menjadikan kita orang yang lebih peduli dan bermanfaat bagi sesama..
sumber gambar dari sini
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung