Semalem, perlawanan Taufik Hidayat dan rekan-rekan kandas sudah di tangan tim bulu tangkis Korea Selatan. Ga tanggung-tanggung, tim merah putih dibantai 3 kosong tanpa ampun. Hapus sudah, asa untuk merebut kembali piala kebanggaan supremasi bulutangkis putra, Thomas Cup. Padahal di istora senayan sana, hampir delapan ribu patriotis penonton bulutangkis sudah berteriak sekuat tenaga untuk menyemangati tim merah putih mengahadirkan Thomas Cup di tanah air.
Sungguh ironi, tim thomas Indonesia pulang kandang lebih dahulu. Padahal sejak awal, tim inilah yang lebih diunggulkan dibanding Tim Piala Uber. Namun nasib berkata lain, walaupun dengan semangat Halo-Halo Bandung "Ayo Bung Rebut Kembali!" dengan gegap gempita peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, prestasi tim Thomas Indonesia ternyata masih belum mampu bangkit kembali. Cucuran keringat dan upaya sekuat tenaga memang sudah diberikan, namun tekad dan ketenangan tim Korsel masih belum bisa memberikan keberuntungan buat tim kita. Taufik Hidayat pun harus lebih cepat mengemas perlengkapan dan masuk kotak.
Padahal untuk saat ini, olahraga -termasuk tim piala Thomas- adalah obat ampuh untuk memancing keluar Nasionalisme bangsa ini. Masih teringat di benak kita saat tim merah putih berlaga di ASIAN CUP 2007 yang lalu, ribuan penonton tumpah ruah memerahkan gelora bung Karno. Sebuah pemandangan yang begitu kolosal dan membuat miris bangsa lain akan kebesaran tekad bangsa Indonesia. Semua berbaur, dari sabang sampai merauke bergenggaman tangan, bersatu padu dengan satu koor sama dan pekikan yang sama : INDONESIA. Saat itulah -ketika menonton timnas sepakbola dan atau Tim Uber dan Thomas Cup- kita merasa bahwa Indonesia itu ada sebagai sebuah bangsa. Sebuah semangat dimana semua peluh dan keringat diabdikan hanya untuk satu, yaitu kebanggaan dan kehormatan nasional dan bangsa.
Sayang untuk saat ini semangat itu hanya muncul di lapangan olahraga. Sementara di bidang ekonomi dan politik semangat itu masih sebatas kerinduan dan tak kunjung datang. Nasionalisme yang mungkin begitu simbolik di lapangan olahraga tak kuasa merasuk di relung hati dan jiwa para elit bangsa di bidang politik dan ekonomi. Para politisi dan elit bangsa masih belum mampu menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan diri mereka atau kelompok. Politik mengatas namakan rakyat hanya hangat ketika menjelang pemilu atau pilkada. Aset-aset bangsa yang menjadi sokoguru dan peluang untuk menjaga kemandirian bangsa dari segi ekonomi secara perlahan namun pasti dijual satu persatu. Seolah-olah para elit saat ini enggan mewariskan banyak 'kekayaan/aset' untuk generasi yang akan datang.
Kebijakan salah urus dan salah obat menambah penyakit ekonomi kita semakin parah dan rakyat semakin menderita.
Contoh paling kasat mata dan paling aktual tentunya rencana kenaikan BBM untuk yang kesekian kalinya, bahkan hingga 30 %. Belum keputusan tersebut di laksanakan, harga barang sudah melonjak dimana-mana. Tak terbayangkan apa yang terjadi, rakyat yang daya belinya sudah begitu rendah harus dihadapkan pada kenaikan berbagai harga barang yang tentunya akan begitu menyulitkan. Pemerintah seakan tutup mata akan kemungkinan keadaan ini. Pedahal berbagai pendapat mengatakan masih ada alternatif lain yang bisa diambil selain membebankan kondisi ini kepada rakyat. Restrukturasi utang atau optimalisasi pajak adalah alternatif lain yang tentunya lebih bijaksana. Atau mencabut/mengurangi subsidi listrik bis juga dilakasnakan. Namun memang benar seperti kata SIKAB Republik BBM "Bersama kita bisa! menderita?".
Akhirnya kemenangan tim piala Thomas sebetulnya bisa menjadi kompensasi yang lumayan untuk rakyat Indonesia. Setidaknya rakyat bisa tersenyum melihat kejayaan kembali tim bulutangkis di ajang paling bergengsi untuk putra. Cukup untuk membuat rakyat bersorak gembira selama beberapa hari melupakan sejenak kenyataan hidup yang akan mereka hadapi menjelang kenaikan harga BBM. Namun itu tak terjadi, kini sesungging senyum hanya bisa diharap dari Tim Piala uber. Semoga mereka menang! dan memberi sedikit sebelah senyum untuk rakyat Indonesia. Wallahu a'lam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment
Thanks to visit my blog
Terima kasih sudah berkunjung