temenku asal ciamis. waktu mau kuliah dia pengen masuk jurusan ushuludin karena orangnya memang suka jurusan itu. waktu dia daftar ke salah satu jurusan tersebut dan bilang ke abahnya di kampung, dia malah kena damprat. kria-kira gini :
temenku : "bah abdi daftar di jurusan aqidah filasafat" (bah saya daftar di jurusan aqidah filsafat)
abah : "alah naha milih jurusan eta? teu pasti gawena! maneh ke kalah jadi sesat deuih!" "geusa ayeuna mah pilih kuliah nu pasti atawa ijazah ku abah diduruk sakalian?" (alah kenapa kamu pilih jurusan itu? susah cari kerja! kamu juga malah sesat pikirannya nanti! kamu kuliah di jurusan yang mudah kerja! atau kalo nggak ga usah sekalian mending ijazahnya abah bakar aja!)
temen yang lain juga hampir mirip. dia mau kuliah ke jurusan yang dia minati, namun sesampe di rumah orang tua langsung suruh balik ke kampus dan pilih jurusan yang katanya cepet dapet kerja. kenapa alasannya harus kerja? mungkin kebanyakan orang memang berpikir standar tentang daur kehidupan. ya kurang lebih mikirnya sesederhana ini : lahir, tumbuh, sekolah, kuliah, kerja, kawin, punya anak, punya mantu, punya cucu, tua dan meninggal. tidak adakah hal lain yang patut diperjuangkan selain kita (kebahagiaan diri kita dan keluarga)? mungkin aku terlalu simplistis....
ini iseng aja! tapi boleh diskusi?
mmm... saranku, pilih jurusan yang emang diminati sama anaknya, bukan orang tuanya. kan yang mau kuliah anaknya, bukan bapaknya! nggak kebayang gimana rasanya 4 taun belajar hal-hal yang nggak kita senengin sama sekali.
ReplyDeletekadang orangtua berlaku begitu karna kurang paham tentang jurusan yang diambil. ini tugas anaknya untuk jelasin ke orangtuanya, sejelas-jelasnya, tentang jurusan yang dia pengen. dan apa prospeknya di masa depan. lagipula sekarang -menurutku- kuliah dan kerja suka nggak berhubungan. kuliahnya jurusan A, kerjanya di bidang X. rizki mah Allah yang ngatur :) iya nggak, kang?
satuju!
ReplyDeletebete banget dan akan sangat menyiksa hidup di dunia yang ga disukai. ya kayak ikan yang ditaruh di gurun pasir. potensinya jadi ga keluar secara maksimal. mensana in corpore sano. kuliah ke sana dianya ngambil kegiatan kesono. ora nyambung. temenku banyak yang ngalamin kayak gini. aku termasuk yang ga terlalu nyambung sih tapi bukan karena orang tua, tapi lebih ke masalah informasi dulu aja kali.
sebenernya aku nulisnya lebih ke masalah materialismenya itu. kalo dalam bahasa agama disebut Wahn (hubbuddunya wa karohiyatul maut/cinta dunia takut matee). kadang materi jadi pertimbangan utama dalam memilih/memutuskan sesuatu. padahal kita cari materi juga menurut aku supaya bisa hidup dan bahagia. jadinya targetnya itu ya kebahagiaan. nah salah banget kayaknya kalo cuman dapat materi kita jadi ga bahagia. lieur nya? rada pabaliut tapi you got my point...
Pemakaian bahasa sunda bikin nggak begitu paham, tapi paling tidak ada artinya juga dan aku pengen kasih comment, gatel juga pengen beri pendapat. Banyak orang yang berpandangan bahwa kesuksesan diukur salah satunya dari materi dan kemapanan kerja. Di Indonesia ini kan berlaku ijazah jadi persyaratan cari kerja. Jadi...seolah bahwa prospek kesuksesan diukur dari pengambilan jurusan waktu sekolah. Padahal setahuku tukang bakso nggak perlu sekolah tinggi-tinggi buat jadi kaya, atao pedagang justru nggak banyak yang berasal dari lulusan manajemen atau ekonomi tuh...toh mereka tetep bisa kaya....bukti konkrit di Pekalongan banyak juragan batik nggak kuliah...boro-boro kuliah....SMA aja nggak!
ReplyDeleteKayaknya perlu ada perubahan paradigma bahwa sekolah itu untuk cari kerja n dapet duwit, karena justru kompetensi dan minat diri lah yang menentukan kesuksesan seseorang.
Nyambung nggak ya comment nya? moga nyambung deh!
Yup...kalo mau kaya mah jadi wiraswasta alias usahawan. Itu juga gambling. Kalo untung, tajir, kalo lagi down kayak gini mah, susah atuh ^^
ReplyDeleteheueueh bener!
ReplyDeletenaon teh?
teuing!